Senja Terakhir

Minggu, 23 Juni 2013

0 komentar
Satu tahun harusnya sudah membuat ku terbiasa. Terbiasa dengan semua ini. Dengan semua kegelapan yang kulihat. Dengan dua tongkat yang menemaniku berjalan. Namun kenapa aku belum juga terbiasa.Setiap pagi, aku selalu duduk di sebuah kursi panjang. Berteman dengan suara air yang jatuh dari air terjun buatan yang ada di samping kursi ini. Dengan mata terbuka namun tak dapat melihat apapun selain hitam.Setiap pagi pula aku selalu mencoba menghapus kenangan itu. Kenangan yang seharusnya sudah bisa kulupakan. Apa? Lupa. Tak mungkin aku melupakan kejadian itu. 

Masih terlihat jelas di ingatan ku. Waktu itu dengan mobil jazz putih mu. Kamu menjemputku dengan senyum termanis yang pernah kulihat di bibir mu. Tak pernah aku melihat senyum semanis itu didirimu selama ini. Sikap mu hari itu juga sedikit berbeda. Kamu datang tak hanya dengan senyum terindah mu. Kamu membawakan ku sebuah kejutan yang sangat istimewa. Seekor kura-kura, kamu sangat tahu aku mengingankan hewan itu beberapa hari itu. Saat kita berdua berjalan-jalan bersama aku sempat merengek didepan mu agar aku diperbolehkan memelihara seekor kura-kura. Tapi saat itu kamu berkata pada ku.
"Emang kamu bisa ngerawat dia, kasihan loh nanti kalau kamu lupa kasih makan. Tuh dulu ikan emas aja, hampir tiga hari enggak kamu kasih makan", dan akhirnya aku tak jadi membelinya. 

Tetapi betapa kagetnya aku ketika hari itu kamu datang membawakan ku seekor kura-kura. Namun semua sikap mu hari itu tak memberikan tanda-tanda sedikit akan sebuah hal buruk. Karena aku merasa saat itu aku sangat bahagia.

Ketika senja menyapa, kamu meminta izin kepada kedua orang tua ku untuk mengajak ku pergi ke sebuah pasar malam yang sedang berlangsung di alun-alun kota.
"Om, saya sama Tania pergi dulu"
"Baik, hati-hati ya nak Tara, jaga Tania dengan baik jangan pulang larut malam"
"Pasti Om"
Restu dari orang tuaku sudah dia kantongi. Dia memacu mobilnya dengan tenang. Dia memutar sebuah lagu untuk menambah suasana senja ini bertambah manis. 
Nyanyikan lagu indah...
Sebelum ku pergi dan tak kembali...
Nyanyikan lagu indah....
Entah mengapa saat itu dia  memutar sebuah lagu yang bertemakan kehilangan. Dan waktu itu juga aku tak merasakan apa-apa. 

Tiba-tiba langit senja berubah warna. Bukan berubah warna menjadi lagit malam yang berhias bintang. Namun dia berubah membentuk gugusan awan, yang akan menjatuhkan hujan.
"Loh,Tar mau hujan nih"
"Em..masak sih?"
"Iya, lihat deh langitnya mulai gelapan"
Sambil menyetir dia melihat langit, yang beranjak mengeluarkan air-air dari tubuhnya.
"Iya Tan, kalau gitu kita ke.."
"Ke cafe kopi yuk"
"Em.. ide bagus"
 Dia memacu mobilnya dengan sedikit cepat.
"Tar, pelan-pelan aja"
"Oke Tan, tenang aja bentar lagi kan sampai tuh"
"Iya, tapi bawa mobilnya pelan aja. Ngeri tahu"
Kami berdua sampai di cafe Kopi laangganan kami. Dia kemudia memesan dua kopi mocchachino kesukaan kami. Dari balik jendela kami melihat hujan sudah benar-benar turun. Kilat-kilat saling menyambar. Suara gemuruh yang sangat keras membuat ku takut.

"Tara!" kata ku sambil menutup kedua daun telingaku.
"Tenang Tan, kita kan di dalam cafe"
"Tapi aku takut, kita pulag aja yuk"
"Nunggu hujan reda ya"
"Redanya lama Tar, pulang sekarang aja"
"Tunggu reda aja deh ya"
"Tar"
"Em..."
"Pulang.."kata ku merengek lagi seperti anak kecil. Aku benar-benar takut malam itu. Entah kenapa rasanya aku ingin pulang saja.
"Iya iya pulang" kata Tara  sambil membayar bill kopi kami.  

Bisa kulihat di tengah-tengah hujan itu. Tara sebenarnya tidak mau pulang. Jujur saja saat di cafe Kopi tadi. Tara masih asyik menikmati kopiny. Maklum saja dia jarang sekali bisa pergi ke cafe itu, kesibukannya di sebuah kantor majalah serta kesibukan kuliah untuk melanjutkan ke jenjang S2 yang sedang dia tempuh membuatnya mendapatkan waktu keluar yang sedikit minim. Belum lagi jika sudah mendapat tugas dari kantor. Bisa dihitung sekarang aku dan dia berteu berapa kali selama seminggu. 

Aku merasaka saat itu Tara sedikit kecewa. Dia sudah meluangkan waktunya hari itu dengan diriku tapi, aku memintanya pulang cepat. 
"Tar, kamu ngambeknya"
"Enggak kok"
"Gak usah boong, dari kita keluar cafe tadi wajah kamu udah di tekuk terus. Enggak enak tahu aku ngelihatnya"
"Enggak ngambek aku. Udah diem bentar lagi kita sampai rumah kamu"
  Aku yang duduk disampingnya. Merasakan jika Tara mengendarai mobilnya dengan sangat cepat dan dengan perasaan kecewa.
"Tar, maafin aku"
"Apa yang perlu dimaafin?"
"Kamu ngambek kan, gara-gara aku minta pulang"
"Enggak, kan aku bilang enggak ngambek. Jangan bikin mod ku jelek dong"
"Aku enggak bikin mod kamu jelek"
GLEGARRRR..... suara petir menyambar lagi.
"Tara!!"
"Apa lagi sih? Iya kita pulang"
"Ya kan kamu marah. Nada bicara kamu beda tahu. Aku hafal banget gimana sifat kamu kalau lagi marah"
"Ahhhh.. Diem!"
"Kok jadi bentak gini"
"Kamu maunya apa sih? Pulang! Oke kita pulang, kamu itu emang ya sifatnya gak bisa dewasa. Aku tuh masih pengen keluar sama kamu. Cuman gara-gara hujan kamu minta pulang"
"Enggak gitu Tar, aku takut..."
"Takut apa? Kan ada aku, dan aku tadi juga udah janji sama orang tua mu kalau aku bakal jaga kamu baik-baik. Kamu enggak percaya"
 Aku cuma bisa diam. Kalau aku sudah tahu Tara, marah seperti ini. Udah enggak ada lagi yang bisa dilakuin. Diam emas! Tara semakin mempercepat mobilnya. Kami menerjang hujan yang kira-kira sebesar balok es kotak-kotak. Saat itu hujan semakin deras. Kaca mobil Tara, menjadi kurang jelas. Tara sepertinya meluapkan amarahnya pada mobil yang melaju di tengah hujan angin.

Citttt....!!!!
BRAKK!!!!

Semuanya terjadi begitu cepat. Tak ada yang bisa kuingat. Hanya kekesalan Tara yang ada didalam pikiran ku.

Ketika aku mencoba membuka mata ku. Aku sudah tak bisa melihat apa-apa kilat cahaya ditengah hujan itu yang terakhir ku lihat. 
"Tania sayang, ayo sadar nak"
"Ma, aku dimana?"
Suara ku membuat Mama ku sedikit bernafas lega.
"Kamu di rumah sakit sayang"
"Rumah sakit? Ma kok gelap"
Tak ada yang ku dengar lagi. Hanya suara tangisan Mama yang dapat kudengar.
"Ma, kok gelap? Tara mana? Dia dimana Ma?"
"Sayang, kamu yang tenang ya"
"Ma jawab pertanyaan ku, kenapa gelap, Tara dimana?"
"Sayang, Tara sudah pergi"
"Apa Ma?"

Senja terkahir hari itu. Adalah senja terkahir aku bertemu Tara. Senyuman termanisnya senja itu adalah senyuman termanis terkahir darinya. Lagu yang dia putar saat itu, kemungkinan adalah lagu terkahir darinya. Tara, dia pergi. Dia pergi membawa cahaya ku. Dia pergi meninggalkan ku dengan kondisi aku tak mampu menatap senja terindah lagi. Padahal senja adalah saat terahir aku bersamanya.

Tara, aku merindukannya. Aku merindukan dia, dibalik kegelapan mata ku. Aku berharap ada sebuah keajaiban yang membuat ku mampu melihatya lagi. Dia cahaya ku, Tara kenapa secepat itu.

"Sayang, kamu ikhlasin Tara ya?"
"Enggak Ma, dia pergi gara-gara aku. Coba saat itu aku menurutinya, untuk tetap di cafe"
"Sayang, semua ini sudah takdir. Kamu mau dia disana tambah sedih ngelihat kamu seperti ini terus" Aku tak berkata apa-apa aku diam sambil mengenang Tara.
"Sayang, kamu harus bangkit. Kamu harus bikin bangga Tara"
"Ma, tapi aku buta"
"Sayang, yang buta itu mata kamu. Bukan hati dan pikiran mu. Bersabarlah sayang, kamu akan dapat donor mata"
"Donor mata Ma? Tapi biar pun aku bisa melihat aku tak akan bisa melihat Tara lagi. Percuma Ma!"
"Tania, secara fisik kamu tidak bisa melihat Tara, tapi hati dan pikiran mu bisa" Kata Mama sambil mengusap kepala ku.

Aku dan Mama beranjak dari kursi panjang. Aku mencoba bangkit, aku berjalan di bantu Mama dan dua tongkat ini. Aku memasuki mobil menuju cahaya ku lagi. Merangkai lagi hari ku yang hilang. Mencoba menebus penyesalan ku pada Tara. Mama benar, aku tidak boleh larut lebih lama lagi. Cukup setahun ini aku terpuruk, aku harus berjalan lagi. Tara, maafkan aku. Di saat terkahir mu aku membuat mu kesal, tapi Tara sungguh aku berterimakasih. Sebelum kamu pergi, kamu sudah memberiku sebuah kenangan indah. Tara, tunggu aku. Aku akan meniti waktu ku bersama kenangan indah mu. Tara di sana aku mohon doa kan aku. Karena disini aku selalu mendoakan mu.