Hujan yang Tak Akan Berhenti

Minggu, 24 November 2013

0 komentar
Tuhan, aku berjalan menuju sudut sepi hati ku. Ditengah padamnya api yang menyulut setiap detik waktu ku Tuhan aku berjalan menyusuri lorong kecil gelap. Tak ada cahaya yang meneranginya. Tuhan gelap itu dingin, Tuhan gelap itu mencengkam,Tuhan gelap itu tak ada berkas yang menembusnya.

Langkah kaki kecil ku. Masih berjalan menembus waktu, ditengah badai yang berusaha menelanku. Aku masih kuat sekarang untuk menerjangnya, namun semakin lama langkah ku semakin melemah. Ditengah badai, hujan semakin menenggelamkan ku. Semakin ku melawannya semakin kuat pula hujan menurunkan ribuan kepedihannya.

Semua yang kurasa kini semakin nyata. Aku berjalan sendiri, dan hujan badai itu tak kunjung berhenti. Ketika ku telah benar-benar lelah, kegelapan yang kulewati seakan mengelingi setiap sudut pandanganku. Tak ada yang mampu ku lihat, yang ku bisa hanya menahan setiap dingin yang mulai menusuk setiap relung hati ku.

Apakah begitu berat melewati semua ini? Apa ini benar jalan ku? Apa semua ini tak akan berujung? Aku seakan-akan tak percaya, aku mampu melewati semua ini. Jalan ini begitu berat, jalan ini sepertinya tak menghantarkan ku pada sebuah cahaya yang membawa ribuan partikel-partikel bahagia.

Air mata yang selama ini menjadi pelampiasan ku. Kini tak berarti apa-apa, kegelapan yang kurasa tak akan pernah berakhir. Apa ini cerita akhir yang harus kujalani. Sendiri, ditengah gelap dengan ribuan rasa dingin yang mencengkam, dengan ribuan badai yang terus menerjang, dengan hujan yang tak akan pernah reda.

Tuhan? Apa aku tak akan melihat cahaya? Jika tidak tolong izinkan aku merasa yang namanya kehangatan jiwa.Setelah itu biarkan aku membusuk dengan dingin yang menggerogoti setiap relung hati ku. Ketika waktu ku untuk menerima kehangatan itu telah usai. Namun jika aku boleh melihat cahaya, tolong Tuhan biarkan aku menjaganya sampai aku juga membusuk didekatnya.

HUJAN, RASA ITU MASIH ADA

Sabtu, 16 November 2013

0 komentar
Hei kamu ??
Iya kamu,
Dengan baju merah kesukaan mu, kau berdiri dengan wajah serius mu memadang ku hanya sekejap. Tau kah kamu sebenarnya aku saat itu menantimu?
Hujan yang saat itu juga turun secara perlahan, meski hanya setitik-titik namun cukup membuat tubuh ku basah olehnya. Kurasa itu bukan hanya hujan. Air yang turun itu adalah perih ku. Di sudut bola mata ku, aku menatap mu tak henti-hentinya. Berharap kamu mengembangkan sapa lewat bibir mungil mu.
Apa sapa ? Tak mungkin kamu mengembangkan sapa ? Sudah berapa lama kita tak jumpa, dan kau saja tak pernah mencari ku ada dimana ?

Hujan itu semakin deras, dan deras dan sudah membuatku basah kuyup. Tapi aku tak pernah meninggalkan posisi ku. Aku tetap saja menatap mu dengan dua bola mata ku yang seakan tak rela melihat mu pergi untuk sekian kali. Tapi sayang dua mata ini harus lebih mengiklaskan sebuah hal yang sederhana. Menguatkan hati bahwa, cerita kita sudah berakhir.

Genggaman tangan mu yang dulu sangat membuatku nyaman. Aku rindu itu, ditengah gelapnya hujan yang semakin lama berubah seperti badai. Aku tetap berdiri, memandang mu tanpa lelahnya. Tapi kenapa semakin aku menatap mu, dua mata ku tak terasa memutahkan pluh di setiap sudutnya. Semua tagis ku pecah dan begitu bodohnya aku tak mampu menahannya. Aku merasa terlalu lemah.

Hujan,
Ya hujan malam itu...
Hujan yang membawa ku pada masa lalu, yang membawa ku pada sebuah kekecewaan yang berujung pada sebuah kegelisahan, kecewa, dan pilu yang sangat dalam. Hujan juga membawa cerita baru tapi untuk mu, bukan untuk ku. Aku tetap pada kondisiku yang menunggu-menunggu masa lalu itu pergi dari dua sudut mata ku. Dan ketika aku mengahapusnya maka akan hadir sebuah kisah baru dan kuharap itu mampu, mengubur masa lalu ku, yang terasa lebih perih dari sebuah bilah pisau yang menancap di sudut hati ku. Ini memang nyata, rasa ku yang masih ada untukmu. Namun kamu, kenapa kamu sudah melupakan rasa itu???

Hujan Berlalu

Jumat, 15 November 2013

0 komentar
Aku lupa sudah berapa lama, mendung itu menyelimuti raga ku. Aku lupa sudah berapa hujan yang jatuh mengguyur setiap sisi bola mata ku. Aku lupa sudah berapa hari yang kulalui dengan kekuatan ku sendiri. Dan hingga akhirnya kini aku menyadari bahwa, hujan itu akan segera berakhir.

Sejak detik terakhir aku memutuskan untuk menutup hati rapat-rapat. Aku tak ingin satu rasa pun hadir dalam hara-hari ku. Melenggang-lenggong membentuk warna-warna indah yang berjung pada kegelisahan. Aku sudah bosan, dengan setiap detail rasa-rasa yang ada. Aku bosan ketika aku harus mengenyam rasa sakit yang berujung pada satu rasa.

Namun sekarang aku lelah. Aku lelah, jika terus berjalan seperti ini. Tetapi apa yang bisa ku lakukan. Aku terus berjalan melewati setiap siklus detik kehidupan. Hidup yang kurasa penuh dengan air mata. Bukan-bukan hanya air mata, namun kesakitan...

Kehadirannya kurasa adalah salah satu siklus yang harus kulalui, karena sejak kehadirannya entah mengapa ada sebuah hal berbeda. Aku dan dia memang bukan sepasang kekasih, bukan sepasang sahabat, bukan sepasang teman atau sepasang orang yang sudah saling mengenal dekat. Aku dan dia hanya seorang yang baru saja saling mengenal. Aku dan dia bertemu karena kebetulan. Dan semua yang terjadi sekarang terasa seperti kebetulan. Tapi apakah rasa yang kurasa sekarang ini juga adalah kebetulan?

Aku tak bisa banyak mengungkapkan, aku terlalu lama menutup perasaan ku. Sejak kali terakhir aku mampu menyayangi seseorang. Dan itu kurasa adalah waktu terkhir aku untuk membuka hati ku. Namun kurasa sekarang ada yang berbeda, rasa ku sepertinya terbuka, bukan aku yang membukanya tapi waktu. Waktu seakan-akan menuntunku untuk membuka perasaan ku. Akankah aku mampu, mampu membuka rasa itu lagi??

Aku terus mengikuti siklus kehidupan ku. Aku dan dia semakin dekat, tapi bukan dekat yang sangat dekat. Kadang kita tak saling bicara, karena apa? tak ada sebuah tali yang menyambungkan kita. Namun entah mengapa walau kita tak saling dekat, rasa itu semakin kuat. Kadang aku berfikir rasa ini hanya kagum semata. Tetapi jika ini rasa kagum semata kenapa aku selalu meminta kepada Tuhan untuk bisa lebih dekat dengannya? Namun di setiap doa ku aku juga berkata pada Tuhan jika aku dan dia memang ditakdirkan untuk bersama, aku meminta untuk supaya hati ku dan dia bisa bersatu. Tapi jika aku dan dia tak bisa bersama, aku meminta Tuhan untuk segera meluruhkan perasaan ku, dan aku menutup lagi hati ku. Karena jika masih dibiarkan, aku rasa perasaan ku akan semakin terluka. Apa tak cukup waktu-waktu terakhir yang kulalui dengan ribuan lara. Tuhan hujan itu apakah bisa berlalu ?

Senja Terakhir

Minggu, 23 Juni 2013

0 komentar
Satu tahun harusnya sudah membuat ku terbiasa. Terbiasa dengan semua ini. Dengan semua kegelapan yang kulihat. Dengan dua tongkat yang menemaniku berjalan. Namun kenapa aku belum juga terbiasa.Setiap pagi, aku selalu duduk di sebuah kursi panjang. Berteman dengan suara air yang jatuh dari air terjun buatan yang ada di samping kursi ini. Dengan mata terbuka namun tak dapat melihat apapun selain hitam.Setiap pagi pula aku selalu mencoba menghapus kenangan itu. Kenangan yang seharusnya sudah bisa kulupakan. Apa? Lupa. Tak mungkin aku melupakan kejadian itu. 

Masih terlihat jelas di ingatan ku. Waktu itu dengan mobil jazz putih mu. Kamu menjemputku dengan senyum termanis yang pernah kulihat di bibir mu. Tak pernah aku melihat senyum semanis itu didirimu selama ini. Sikap mu hari itu juga sedikit berbeda. Kamu datang tak hanya dengan senyum terindah mu. Kamu membawakan ku sebuah kejutan yang sangat istimewa. Seekor kura-kura, kamu sangat tahu aku mengingankan hewan itu beberapa hari itu. Saat kita berdua berjalan-jalan bersama aku sempat merengek didepan mu agar aku diperbolehkan memelihara seekor kura-kura. Tapi saat itu kamu berkata pada ku.
"Emang kamu bisa ngerawat dia, kasihan loh nanti kalau kamu lupa kasih makan. Tuh dulu ikan emas aja, hampir tiga hari enggak kamu kasih makan", dan akhirnya aku tak jadi membelinya. 

Tetapi betapa kagetnya aku ketika hari itu kamu datang membawakan ku seekor kura-kura. Namun semua sikap mu hari itu tak memberikan tanda-tanda sedikit akan sebuah hal buruk. Karena aku merasa saat itu aku sangat bahagia.

Ketika senja menyapa, kamu meminta izin kepada kedua orang tua ku untuk mengajak ku pergi ke sebuah pasar malam yang sedang berlangsung di alun-alun kota.
"Om, saya sama Tania pergi dulu"
"Baik, hati-hati ya nak Tara, jaga Tania dengan baik jangan pulang larut malam"
"Pasti Om"
Restu dari orang tuaku sudah dia kantongi. Dia memacu mobilnya dengan tenang. Dia memutar sebuah lagu untuk menambah suasana senja ini bertambah manis. 
Nyanyikan lagu indah...
Sebelum ku pergi dan tak kembali...
Nyanyikan lagu indah....
Entah mengapa saat itu dia  memutar sebuah lagu yang bertemakan kehilangan. Dan waktu itu juga aku tak merasakan apa-apa. 

Tiba-tiba langit senja berubah warna. Bukan berubah warna menjadi lagit malam yang berhias bintang. Namun dia berubah membentuk gugusan awan, yang akan menjatuhkan hujan.
"Loh,Tar mau hujan nih"
"Em..masak sih?"
"Iya, lihat deh langitnya mulai gelapan"
Sambil menyetir dia melihat langit, yang beranjak mengeluarkan air-air dari tubuhnya.
"Iya Tan, kalau gitu kita ke.."
"Ke cafe kopi yuk"
"Em.. ide bagus"
 Dia memacu mobilnya dengan sedikit cepat.
"Tar, pelan-pelan aja"
"Oke Tan, tenang aja bentar lagi kan sampai tuh"
"Iya, tapi bawa mobilnya pelan aja. Ngeri tahu"
Kami berdua sampai di cafe Kopi laangganan kami. Dia kemudia memesan dua kopi mocchachino kesukaan kami. Dari balik jendela kami melihat hujan sudah benar-benar turun. Kilat-kilat saling menyambar. Suara gemuruh yang sangat keras membuat ku takut.

"Tara!" kata ku sambil menutup kedua daun telingaku.
"Tenang Tan, kita kan di dalam cafe"
"Tapi aku takut, kita pulag aja yuk"
"Nunggu hujan reda ya"
"Redanya lama Tar, pulang sekarang aja"
"Tunggu reda aja deh ya"
"Tar"
"Em..."
"Pulang.."kata ku merengek lagi seperti anak kecil. Aku benar-benar takut malam itu. Entah kenapa rasanya aku ingin pulang saja.
"Iya iya pulang" kata Tara  sambil membayar bill kopi kami.  

Bisa kulihat di tengah-tengah hujan itu. Tara sebenarnya tidak mau pulang. Jujur saja saat di cafe Kopi tadi. Tara masih asyik menikmati kopiny. Maklum saja dia jarang sekali bisa pergi ke cafe itu, kesibukannya di sebuah kantor majalah serta kesibukan kuliah untuk melanjutkan ke jenjang S2 yang sedang dia tempuh membuatnya mendapatkan waktu keluar yang sedikit minim. Belum lagi jika sudah mendapat tugas dari kantor. Bisa dihitung sekarang aku dan dia berteu berapa kali selama seminggu. 

Aku merasaka saat itu Tara sedikit kecewa. Dia sudah meluangkan waktunya hari itu dengan diriku tapi, aku memintanya pulang cepat. 
"Tar, kamu ngambeknya"
"Enggak kok"
"Gak usah boong, dari kita keluar cafe tadi wajah kamu udah di tekuk terus. Enggak enak tahu aku ngelihatnya"
"Enggak ngambek aku. Udah diem bentar lagi kita sampai rumah kamu"
  Aku yang duduk disampingnya. Merasakan jika Tara mengendarai mobilnya dengan sangat cepat dan dengan perasaan kecewa.
"Tar, maafin aku"
"Apa yang perlu dimaafin?"
"Kamu ngambek kan, gara-gara aku minta pulang"
"Enggak, kan aku bilang enggak ngambek. Jangan bikin mod ku jelek dong"
"Aku enggak bikin mod kamu jelek"
GLEGARRRR..... suara petir menyambar lagi.
"Tara!!"
"Apa lagi sih? Iya kita pulang"
"Ya kan kamu marah. Nada bicara kamu beda tahu. Aku hafal banget gimana sifat kamu kalau lagi marah"
"Ahhhh.. Diem!"
"Kok jadi bentak gini"
"Kamu maunya apa sih? Pulang! Oke kita pulang, kamu itu emang ya sifatnya gak bisa dewasa. Aku tuh masih pengen keluar sama kamu. Cuman gara-gara hujan kamu minta pulang"
"Enggak gitu Tar, aku takut..."
"Takut apa? Kan ada aku, dan aku tadi juga udah janji sama orang tua mu kalau aku bakal jaga kamu baik-baik. Kamu enggak percaya"
 Aku cuma bisa diam. Kalau aku sudah tahu Tara, marah seperti ini. Udah enggak ada lagi yang bisa dilakuin. Diam emas! Tara semakin mempercepat mobilnya. Kami menerjang hujan yang kira-kira sebesar balok es kotak-kotak. Saat itu hujan semakin deras. Kaca mobil Tara, menjadi kurang jelas. Tara sepertinya meluapkan amarahnya pada mobil yang melaju di tengah hujan angin.

Citttt....!!!!
BRAKK!!!!

Semuanya terjadi begitu cepat. Tak ada yang bisa kuingat. Hanya kekesalan Tara yang ada didalam pikiran ku.

Ketika aku mencoba membuka mata ku. Aku sudah tak bisa melihat apa-apa kilat cahaya ditengah hujan itu yang terakhir ku lihat. 
"Tania sayang, ayo sadar nak"
"Ma, aku dimana?"
Suara ku membuat Mama ku sedikit bernafas lega.
"Kamu di rumah sakit sayang"
"Rumah sakit? Ma kok gelap"
Tak ada yang ku dengar lagi. Hanya suara tangisan Mama yang dapat kudengar.
"Ma, kok gelap? Tara mana? Dia dimana Ma?"
"Sayang, kamu yang tenang ya"
"Ma jawab pertanyaan ku, kenapa gelap, Tara dimana?"
"Sayang, Tara sudah pergi"
"Apa Ma?"

Senja terkahir hari itu. Adalah senja terkahir aku bertemu Tara. Senyuman termanisnya senja itu adalah senyuman termanis terkahir darinya. Lagu yang dia putar saat itu, kemungkinan adalah lagu terkahir darinya. Tara, dia pergi. Dia pergi membawa cahaya ku. Dia pergi meninggalkan ku dengan kondisi aku tak mampu menatap senja terindah lagi. Padahal senja adalah saat terahir aku bersamanya.

Tara, aku merindukannya. Aku merindukan dia, dibalik kegelapan mata ku. Aku berharap ada sebuah keajaiban yang membuat ku mampu melihatya lagi. Dia cahaya ku, Tara kenapa secepat itu.

"Sayang, kamu ikhlasin Tara ya?"
"Enggak Ma, dia pergi gara-gara aku. Coba saat itu aku menurutinya, untuk tetap di cafe"
"Sayang, semua ini sudah takdir. Kamu mau dia disana tambah sedih ngelihat kamu seperti ini terus" Aku tak berkata apa-apa aku diam sambil mengenang Tara.
"Sayang, kamu harus bangkit. Kamu harus bikin bangga Tara"
"Ma, tapi aku buta"
"Sayang, yang buta itu mata kamu. Bukan hati dan pikiran mu. Bersabarlah sayang, kamu akan dapat donor mata"
"Donor mata Ma? Tapi biar pun aku bisa melihat aku tak akan bisa melihat Tara lagi. Percuma Ma!"
"Tania, secara fisik kamu tidak bisa melihat Tara, tapi hati dan pikiran mu bisa" Kata Mama sambil mengusap kepala ku.

Aku dan Mama beranjak dari kursi panjang. Aku mencoba bangkit, aku berjalan di bantu Mama dan dua tongkat ini. Aku memasuki mobil menuju cahaya ku lagi. Merangkai lagi hari ku yang hilang. Mencoba menebus penyesalan ku pada Tara. Mama benar, aku tidak boleh larut lebih lama lagi. Cukup setahun ini aku terpuruk, aku harus berjalan lagi. Tara, maafkan aku. Di saat terkahir mu aku membuat mu kesal, tapi Tara sungguh aku berterimakasih. Sebelum kamu pergi, kamu sudah memberiku sebuah kenangan indah. Tara, tunggu aku. Aku akan meniti waktu ku bersama kenangan indah mu. Tara di sana aku mohon doa kan aku. Karena disini aku selalu mendoakan mu. 



hukum ada dan lenyap

Sabtu, 02 Maret 2013

0 komentar
aku tak meminta..
aku tak berharap..
kau datang membawa segenggam yang ada..

aku tak meminta..
aku tak berharap..
kau menghilang ketika yang ada telah lenyap...

jika la hidup ini aku yang buat..
aku tak kan menciptakan hukum ada dan lenyap..
namun sayang hidup milik-NYA, hanya-NYA yang mampu memiliki..
Dia menciptakan hukum ada dan lenyap..
Namun kadang hukum itu membuat pertengtangan antara batin dan pikiran yang ada..

Ketika Langit Menanti

Selasa, 26 Februari 2013

0 komentar

ketika langit telah menanti..
adakah suara-suara yang mencegah tuk pergi..
menghalangi agar langit tertutup kembali..
meninggalkan semua agar tetap disini..

ketika langit telah menanti..
sebuah kertas akan menjadi saksi..
merubah kehidupan menjadi sebuah kenangan yang mungkin tak berarti...

ketika langit telah menanti..
jiwa ini mungkin sejenak masih disini..
menyimpan kenangan yang kan dibawa pergi..

ketika langit telah menanti..
raga ini telah siapa untuk lari..
menyatu dalam bumi..
meninggalkan suara-suara tadi..

ketika langit telah menanti..
mungkin kan airmata kan mengiringi..
sebagai tanda sebuah kasih abadi..

ketika langit telah menanti..
ku tutup semua kisah ini..
dan mengakhiri semua yang kumiliki...

Gejolak Api Dalam Kesal Jiwa

Senin, 04 Februari 2013

0 komentar
amarah menggeliat dalam raga..
bagai api yang terperangkap dalam jiwa..
dinginnya es tak mampu cairkan api yang menggelegar...
api tetap menjadi api..
dalam hati yang terbakar amarah yang sunyi..
aku berperang dalam pikiran..
bersama jiwa ku sendiri..
itu rasa sesal yang tercipta..
akibat kesalnya jiwa yang tak bersisa..
aku bagai seorang prajurit yang berperang..
dengan seluruh amarah membabi buta..
tak peduli pikiranku melayang..
aku tetap membawa amarah..
karena rasa ini tertancap rapi dengan perasai hati yang murni..
dosa memang jika rasa ini tetap ada..
Namun semua telah menjadi nyata..
aku memendamm api dalam jiwa..
Yang kan menyembur sekali waktu..
karena sebuah kesal yang ada..


Ku Butuh Kau

Selasa, 15 Januari 2013

0 komentar
ketika ku butuh sandaran..
ku butuh kau tuk menjadi penopangnya..
namun sayang, raga mu tak mampu menopangnya..
Kau begitu rapuh..
Sangat.. rapuh 
hingga ku tak bisa rasakan hadir mu..

ketika ku butuh keramaian...
ku butuh kau tuk menjadi hiburan..
namun sayang, suara mu tak mampu lagi terdengar..
Kau begitu lirih..
sangat.. lirih
hingga ku tak bisa lagi mendengar..

ketika ku sudah mulai terpuruk..
sebenarnya ku ingin kau tuk jadi senyuman.
namun sayang... 
tak ada lagi senyuman
bibir mungil mu tak akan bisa lagi melengkungkan lukisan..
semua telah hitam kelam tak akan pernah tergambar...

Ketika ku sadar dirimu sekarang hanya menjadi Bayangan hitam yang menyatu dengan tanah...

Rasa Ku Kelam

Jumat, 11 Januari 2013

0 komentar
Rasa itu masih kelam...
Bersisa namun seperti tak ada..
Berbungkus dinding es yang tebal..
Dingin mencekam...
Bagai nyawa tanpa raga..
Bergerak seperti boneka..
Ini rasa begitu kejam..
Dibiarka merasa hal yang maya...
Ini rasa begitu sunyi..
Dibiarkan sendiri dalam sunyi...
Semua bagai neraka yang terbungkus indah..
Mengagah di dalam...
Sampai imaji tak mampu menggapainnya...
Sampai akhrinya..
Semua rasa bersisa hanya debu tertiup angin dan air mata...