Sampai,aku tak bisa menahan setiap tetesan darah tanda kesakitan yang menghias setiap guratan indah di raut wajahku. Lihatlah aku sekarang,lihatah ! kau ranting yang dulu kuharap saja tak mampu mencuri setiap jengkal gerikankan. Padahal kau yang membuat setiap duri-duri ini menancap disetiap jenggakal raga ku.
Namun, percuma saja jika aku menyalahkan mu. Sejak awal aku sudah menyakinkan diriku untuk siap menerima semua ini. Tapi, mengapa semua keluar dari keyakinan ku. Rasa sakitnya melewati semua duga ku.
Kini, setiap daun ku hanya mampu menatap mu sambil menjatuhkan diri sembari menahan rasa sakit yang kini menggerogoti ku. Ranting yang dulu kunanti, kenapa kau merubah diri menjadi duri yang mengahncurkan segala mimpi.
Nafas yang dulu kuharapkan menjadi satu. Nafas yang dulu pernah kuharap merubah setiap beda waktu. Hanya menyisahkan abu-abu dan semu. Sejah awal harusnya aku tak mengikuti segala kegilaan ku, dan aku harusnya tahu bahwa perbedaan antara kita adalah sebuah kedustaan yang menghianati tiang yang menyangga kita sejak mata kita menatap cahaya.
Dan, kurasa kini aku benar-benar sangat membodohkan diriku. Mengapa aku tak mendengarkan bisikan Tuan ku dulu, yang berkata "Jangan kau kejar sebuah berbedaan, meski beda itu indah".
Dalam sakit dan nafas yang masih ku miliki sekarang ini. Dengan sisa-sisa daun yang masih mampu bertahan pada raga ku. Kumulai merangkak menghapus setiap darah dari duri yang menancap sempurna.
Sembari aku mengobati dan mencabut duri yang masih mendiami tiap inci kulit ku. Dari sisi berbeda merambatlah sebuah cahaya. Ia membekukan darah yang mengalir kini, dan menggurkan satu demi satu duri yang menancap pada raga. Namun, biarpun ia datang membekukan setiap siksa dalam raga ku. Aku masih saja merasa semua itu masih menyakitkan. Karena duri itu terlalu dalam bersarang pada raga ini.